Kisah Tanpa Judul


Pagi itu hujan datang. Bergerombolan seperti semut-semut yang mengerumuni gula. Tapi, hujan turun bukan mengerumuni gula. Ia datang menetes ke atap, ke tanah, dan ke sepasang sandal yang lupa dimasukkan ke dalam rumah. Sandal itu berjejer tak rapi di muka pintu sebuah rumah bertembok hijau muda. Sepertinya pemilik sandal itu sedang terburu-buru atau sedang mengejar sesuatu atau mungkin hanya malas menata sandal dengan rapi.
Pada langit pagi itu awan tampak berarak kelabu bagai pasukan semen yang menempel di tembok angkasa. Awan membawa warna kelabu dan menumpahkan hujan. Di bawah hujan di sebuah taman seorang lelaki termangu. Di tangan kanannya tergenggam seikat bunga warna merah yang indah. Seperti bunga yang biasa dibeli oleh orang yang sedang jatuh cinta. Tapi, bagaimana bisa kita tahu lelaki itu sedang jatuh cinta? Di dekat lelaki itu seorang lelaki lain berkemeja hitam sedang menekuri langit yang juga hitam.
*
“Selain satu tambah satu sama dengan dua, satu hal lagi yang pasti adalah bahwa aku mencintaimu, Fe.” Pemuda itu mengucap kalimat itu dengan gugup. Bunga di genggamannya seakan kuncup. Di hadapannya tampak seorang gadis dengan rambut tergerai dan berwajah jelita dengan sepotong bibir merah muda yang ranum dan membuat gadis-gadis lain iri. Gadis itu tampak kikuk mendengar apa yang baru saja dikatakan si pemuda.
“Tapi, Rey, ini terlalu cepat. Kita bahkan baru berkenalan seminggu lalu.”
“Fe, kutahu ini begitu cepat. Tapi apa peduli cinta pada waktu. Waktu itu cuma sekumpulan angka. Sementara cinta itu rasa. Perasaan. Dan angka-angka tidak berguna di hadapan perasaan, Fe.”
“Namun cinta juga butuh waktu untuk tumbuh, Rey.’
“Kalau begitu, beritahu aku pupuk apa yang bisa membuat pohon cinta di dadamu bisa tumbuh dengan cepat.”
Fe diam dan ia tak terpikir tentang pupuk apa yang mampu menumbuhsuburkan pohon cinta secara kilat. Fe. Pertemuan di taman itu berakhir tanpa jawaban penerimaan maupun penolakan dari Fe. Gadis itu sepertinya masih mempertimbangkan banyak hal hanya untuk mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’. Dalam cinta, mengatakan hal-hal sesederhana ‘ya’ dan ‘tidak’ kadang memang butuh pertimbangan yang matang. Seluruh hal biasa menjelma menjadi begitu berharga kalau sudah memasuki wilayah cinta.
Dan Rey tak memaksa Fe untuk segera memberinya jawaban.
“Baiklah. Kalau kamu belum bisa menjawabnya sekarang, tak mengapa. Aku masih akan menunggumu sampai hari esok. Bahkan, sampai selamanya, mungkin.”
Sebelum keduanya pulang ke rumah masing-masing. Rey dan Fe mengadakan janji akan bersua kembali di taman besok pagi.
*
Rey dan Fe baru saling mengenal satu pekan lalu di sebuah halte ketika hujan turun begiti deras. Mereka menjadi dua orang terakhir yang tersisa di bangku halte yang basah terperciki air hujan. Mereka menunggu bus terakhir. Namun bus yang mereka tunggu tak jua datang, hujan yang tak mereka tunggu justru datang mengguyur jalanan di depan mereka. Mereka tak membawa payung. Mereka hanya berlindung dengan atap kecil yang menaungi kursi mereka. Dalam menit-menit awal hujan sepasang lelaki-gadis itu memandangi ricis hujan dengan mata masing-masing. Mereka tak saling memandang atau mengobrolkan suatu apa. Satu-satunya hal yang sama dari mereka adalah bahwa mereka sama-sama sedang memandangi hujan.
Hingga pada suatu detik mereka melepas pandangan dari tarian hujan dan menengok ke samping bersamaan. Rey di sebelah kanan. Fe di kiri. Tak ada yang mampu mencegah mata mereka bertatapan. Tak juga hujan. Dan untuk satu hal yang tidak mudah dimengerti, mereka saling melempar senyum. Kemudian bertanya apa yang ditunggu, nama, nomor, alamat, dan seterusnya.
*
Seusai peristiwa di halte mereka bercakap dengan kerap lewat sosmed. Sampai kemudian Rey mengungkapkan bahwa ia ingin bertemu Fe. “Di taman saja, Fe,” kata Rey. “agar dedaunan dan bebungaan menjadi saksi perihal apa yang kan aku ucapkan.” Fe mengiyakan janji temu itu. Fe penasaran apa gerangan yang bakal diucapkan oleh lelaki yang baru dikenalnya itu.
Maka terjadilah pertemuan itu. Rey mengungkapkan perasaannya kepada Fe. Dan Fe diam. Belum memberi jawaban pasti. Daun-daun dan bunga-bunga juga hanya diam, meski sesekali bergoyang dibelai angin.
*
“Fe, aku akan ke rumahmu besok.” Suara berat seorang lelaki melalui sambungan telepon mengagetkan Fe yang sedang memikirkan ungkapan perasaan Rey di pertemuan tadi. Malam terasa sunyi. Dan suara lelaki di sambungan telepon tetiba membuat malam menjadi begitu bunyi. Fe kenal suara itu.
“Avram? Ini kamu?”
“Iya, Fe. Ini aku Avram. Kamu masih ingat sama aku, kan?”
Fe mencoba mengingat-ingat. Dan potongan ingatan terakhir tentang Avram yang ia ingat adalah tiga tahun lampau di bandara. Ketika Avram meminta maaf harus pergi sementara waktu ke Australia untuk meneruskan pendidikannya. Saat itu Fe amat sedih. Saat itu Fe sedang berada di puncak cintanya terhadap Avram. Dan tentu bukan perkara mudah membiarkan orang yang kamu sangat cintai meninggalkanmu ke tempat yang jauh dalam waktu yang tak sebentar. Ada airmata menetes di bandara kala itu. Ketika pesawat yang akan ditumpangi Avram tiba, menjelang menuju pintu pesawat, Avram menguntaikan sepatah kalimat, “Aku tetap akan mencintaimu, Fe.”
Fe mengingat ucapan terakhir Avram itu dengan baik. Namun ketika berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun Avram tak pernah memberi kabar, perlahan ingatan Fe pada Avram memudar. Kalau Avram serius mencintaiku, tentu ia tak akan membiarkanku terkatung-katung dalam penantian yanv tak jelas, pikir Fe ketika kabar dari Avram tak juga ada.
“Mau apa kamu ke rumahku? Bukankah kamu sudah melupakan aku?”
“Tidak, Fe. Aku masih dan selalu ingat sama kamu.”
“Lalu, kenapa bertahun-tahun kamu tak pernah menghubungiku? Memangnya di Austtalia sana tak ada telepon dan internet, heh.”
“Aku sangat sibuk dengan studiku, Fe.’
“Dan itu jadi alasan kamu mengabaikan aku?”
“Bukan begitu, Fe.”
“Sudahlah,”
“Tapi aku tetap akan ke rumahmu besok. Tolong sampaikan hal ini pada om dan tante.”
Sambungan telepon berhenti. Fe belum dapat mencerna dengan baik apa yang barusan terjadi. Avram, seseorang yang bertahun-tahun tak mengabariku tetiba mau ke rumahku, mau apa orang itu, Fe membatin. Sekarang, pada malam yang pekat dua orang bergelayutan dalam pikiran Fe: Rey dan Avram, orang baru dan orang lama.
*
Pagi-pagi sekali Fe terbangun. Lewat jendela kamar ia tak melihat mentari. Langit mendung. Entah kenapa wajah gelap langit membikin dada Fe bergetar. Agak sedih. Selepas mandi ia ingat pada hari ini ia akan bertemu lagi dengan Rey dan ia juga ingat Avram berjanji akan datang ke rumahnya.
*
Fe bersiap mendatangi taman yang tak jauh dari rumah. Bisa ditempuh sekira lima menit dengan berjalan kaki. Di taman Rey sudah duduk dengan menggenggam seikat bunga warna merah yang indah. Di atas taman langit menghitam dan sesekali menggelegar pelan.
Akhirnya Fe tiba di taman dengan kecantikan yang sama seperti kemarin. Rey menyambut kehadiran Fe dengan sepenuh bahagia. Wajahnya mekar seperti mekarnya bunga di genggamannya. Setelah bertukar sapa Rey kembali mengucapkan cintanya kepada Fe.
“Fe, aku benar-benar mencintaimu, biar semua makhluk di taman ini menjadi saksi.”
“Tidak. Aku tidak mau menjadi saksi.” Suara berat seorang lelaki memecahkan keheningan yang ada di taman. Rey dan Fe menoleh ke arah suara itu. Seorang lelaki berkemeja hitam kotak-kotak tampak tegap berdiri setegap tiang listrik. Demi melihat keberadaan lelaki itu Fe kaget dan bangkit dari kursi taman.
“Avram, mau apa kamu di sini?”
“Aku tadi ke rumahmu. Mamamu bilang kamu ke taman. Dan ternyata kamu ke taman untuk bertemu lelaki asing ini. Siapa dia, Fe?”
“Dia bukan lelaki asing. Kamu yang lelaki asing bagiku. Kamu lelaki asing yang tak tahu diri. Kamu meninggalkanku pergi dan kini kamu datang tanpa merasa bersalah!”
“Aku bukan lelaki asing. Namaku Rey. Aku lelaki yang mencintai Fe. Kau siapa?” Rey angkat suara dan menatap tajam mata Avram. Dua pasang mata lelaki itu bertatapan seperti dua pasang mata pisau. Begitu tajam.
“Aku tidak ada keperluan denganmu, lelaki asing.” Ujar Avram pada Rey. “Aku datang jauh-jauh ke sini untukmu, Fe. Aku ingin melamarmu menjadi istriku.”
Berbarengan dengan tuntasnya kata-kata Avram petir menggemelegar. Langit bercahaya dengan cahaya kilat. Ketiga orang di taman jadi membisu.
“Enteng sekali kamu bilang akan melamarku setelah kamu meninggalkanku sekian lama tanpa kabar! Kamu pikir aku semurah itu, heh.”
“Tapi, Fe…”
“Aku sudah muak sama kamu, Avram. Perempuan mana coba yang tidak muak dengan lelaki yang mengaku mencintainya tapi jarang bahkan tak pernah menghubunginya dalam waktu yang sangat lama. Apa itu yang namanya cinta?” Mata Fe tampak berkaca-kaca. Bulir-bulir hujan mulai turun membasahi taman.
Dengan sedih dan kecewa Fe berlari keluar dari taman meninggalkan dua orang lelaki yang sedang menunggu. Namun, apa yang bisa diperbuat oleh dua orang lelaki terhadap perempuan yang sedang sedih dan kecewa selain diam dan membisu?
*
Hujan menderas. Dua orang lelaki kehujanan. Bunga berwarna merah kebasahan. Kemeja hitam kebasahan. Dua lelaki menunggu dalam kebasahan dan keserbasalahan.
Di muka pintu rumah bertembok hijau muda sepasang sandal berjejer tak rapi. Sepertinya pemilik sandal itu sedang terburu-buru atau sedang mengejar sesuatu atau mungkin hanya malas menata sandal dengan rapi. Atau mungkin pemilik sandal itu sedang sedih karena masalah cinta? Tak ada yang tahu soal itu. Namun yang sama-sama kita tahu rumah bertembok hijau muda itu adalah rumah Fe dan sandal yang berjejer tak rapi itu adalah sandal Fe. []

SMA FG, Bekasi, Februari 2017

2 thoughts on “Kisah Tanpa Judul

Leave a comment